Rabu, 16 November 2011

Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Di Pengadilan Negeri


A. Hukum ditinjau dari sudut filsafat hakikatnya adalah :
  1. hakekat Hukum adalah peraturan-peraturan yang dibuat oleh pengusaha yang berwenang, sebagai pedoman tingkah laku, dikenakan sanksi bagi yang melanggar;
  2. Tujuan hukum adalah Keadilan (Filosofi), kemanfaatan (Utilitas), dan Kepastian (Yuridis-dogmatis);
  3. Tujuan hukum bagi bangsa Indonesia tercantum pada alinea ke IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945;
B. Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial (LNRI Tahun 2004 No. 6) berada dalam lingkungan peradilan Umum, dan akan berlaku secara efektif mulai tanggal 14 Januari 2006;
C.  Lahirnya lembaga ini menghapus keberadaan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4P dan P4D) sebagaimana diatur oleh Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelsaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-Undang no. 12 tahun 1964 tentang Pemutusan Hukum Kerja (PHK);
D. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang diatur dalam Undang-Undang no. 2 tahun 2004 dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara yaitu melalui Litigasi (Pengadilan) dan Non Litigasi (di Luar Pengadilan).
Sedangkan waktu penyelesaiannya diatur sebagai berikut:
  1. Non Litigasi (mediasi, konsiliasi, dan arbitrase) paling lama 30 hari kerja;











Penyelesaian Perselisihan Di Luar Pengadilan (Non Litigasi)




1.    Langkah perundingan bipartit yang dilakukan oleh para pihak itu sendiri yang berselisih dengan jalan musyawarah untuk mufakat di antara mereka sendiri merupakan langkah pertama yang dapat ditempuh oleh para pihak yang berselisih dalam hubungan industrial;
2.    Penyelesaian dengan jalan perundingan bipartit tersebut harus diselesaikan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan bipartit tersebut;
3.    Perundingan bipartit tersebut dianggap sukses, apabila para pihak dapat menerima hasil dari perundingan sebelum jangka waktu yang telah ditetapkan tersebut habis. Apabila dalam jangka waktu yang telah ditetapkan tersebut salah satu pihak menolak untuk berunding atau tidak tercapai kesepakatan diantara para pihak, maka perundingan bipartit dianggap gagal;
4.    Jika perundingan bipartit dapat mencapai kesepakatan , maka kesepakatan tersebut dituangkan dalam suatu perjanjian bersama, yang kemudian perjanjian bersama tersebut didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial;
5.    Pengadilan Hubungan Industrial setelah menerima berkas Perjanjian Bersama tersebut, akan mengeluarkan akta bukti pendaftaran Perjanjian Bersama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama tersebut;
6.    Bila dalam pelaksanaan Perjanjian Bersama tersebut, salah satu tidak melaksanakannya, maka pihak yang merasa dirugikan atas perbuatan tersebut dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama tersebut didaftarkan untuk mendapatkan penetapan eksekusi.

Apabila tidak tercapai kata sepakat dalam musyawarah/ perundingan bipartit, maka langkah selanjutnya adalah:
1.    Para pihak mencatatkan pada instansi yang bertanggungjawab dalam hal ketenagakerjaan dengan menyertakan bukti-bukti bahwa telah dilakukan perundingan bipartit, namun dalam perundingan bipartit tersebut gagal dicapai suatu kesepakatan bersama;
2.    Bila bukti-bukti tentang telah dilakukannya perundingan bipartit tersebut dinyatakan tidak lengkap oleh instansi ketenagakerjaan, maka para pihak diminta untuk segera melengkapi bukti-bukti tersebut dalam waktu 7 hari kerja;
3.    Jika sudah dinyatakan bahwa bukti-bukti perundingan bipartit tersebut lengkap, maka instansi ketenagakerjaan tersebut akan menawarkan pada para pihak untuk menyelesaikan perselisihan tersebut melalui jalan konsiliasi atau arbitrase, kepastian tentang cara mana yang akan dipakai oleh para pihak dalam rangka penyelesaian perselisihan tersebut harus sudah diberitahukan kepada instansi ketenagakerjaan tersebut dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja:
    1. Dengan konsiliasi untuk perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antara serikat pekerja/ serikat buruh;
    2. Dengan arbitrase untuk perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh;
4.    Apabila selama waktu 7 (tujuh) hari kerja para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi atau arbitrase, maka penyelesaian perselisihan dilakukan melalui mediasi oleh mediator yang berada di setiap kantor instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/ kota;
5.    dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja, mediator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan segera mengadakan sidang mediasi dengan menghadirkan saksi atau saksi ahli;
6.    Jika sidang mediasi dapat mencapai suatu kesepakatan, maka kesepakatan tersebut dituangkan dalam suatu Perjanjian Bersama, yang kemudian Perjanjian Bersama tersebut di daftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial;
7.    Pengadilan Hubungan Industrial setelah menerima berkas Perjanjian Bersama tersebut, akan mengeluarkan akta bukti pendaftaran Perjanjian Bersama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama tersebut;
8.    Bila dalam pelaksanaan Perjanjian Bersama tersebut, salah satu pihak tidak melaksanakannya, maka pihak yang merasa dirugikan atas perbuatan tersebut dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama tersebut didaftarkan untuk mendapat penetapan eksekusi;
9.    Apabila mediasi juga tidak berhasil mencapai kesepakatan, maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis dan para pihak harus menyempaikan jawaban tertulis kepada mediator selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran tertulis. Bila menyetujui anjuran tertulis tersebut, maka selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari kerja mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama, langkah selanjutnya sama dengan poin 7, 8, dan 9;
10. Apabila salah satu pihak tidak menyetujui anjuran tertulis tersebut, maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.

b.   Litigasi pada Pengadilan Hubungan Industrial di batasi paling lama 50 hari kerja;
Penyelesaian Perselisihan Melalui Pengadilan (litigasi)

Skema Penyelesaian Perselisihan
Melalui Pengadilan Hubungan Industrial


1.       Pengadilan Hubungan Industrial merupakan cara terakhir yang dapat ditempuh oleh para pihak dalam Penyelesaian Perselisihan hubungan Industrial, jika dengan cara perundingan bipartit tidak berhasil dicapai suatu kata muakat, maka dilakukan dengan dua alternatif penyelesaian yaitu konsiliasi atau arbitrase, jika alternatif tersebut tidak dipilih oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak, maka dilakukan mediasi, dan jika tidak berhasil dilakukan mediasi langkah yang paling akhir adalah melalui Pengadilan hubungan Industrial;
2.       Dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ditetapkan bahwa:
Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum, jadi Pengadilan hubungan Industrial merupakan bagian khusus dari peradilan umum;
3.       Mengenai wewenang dan tugas memeriksa dan memutus dari Pengadilan Hubungan industrial ini ditetapkan dalam Pasal 56 UU No. 2 tahun 2004 yaitu:
a.    ditingkat pertama mengenai perselisihan hak;
b.    ditingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
c.    ditingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;
d.    ditingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh dalam satu perusahaan.
4.       Sedangkan Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan umum, kecuali yang di atur secara khusus dalam Undang-Undang ini. (Pasal 57 UU No. 2 Tahun 2004) Hukum Acara dalam PPHI adalah Hukum Acara Perdata kecuali diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini.
5.       Muara dari Pengadilan Hubungan Industrial ini berpusat pada Mahkamah Agung yang merupakan lembaga tertinggi yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di Indonesia;
6.       Susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terdiri dari : Hakim, Hakim Ad- Hoc, Panitera muda, dan Panitera Pengganti.
7.       Sedangkan susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung terdiri dari: Hakim Agung, Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung, dan Panitera.
8.       Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diangkat dan diberhentikan berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung, sedangkan Hakim Ad Hoc pada pengadilan Hubungan industrial diangkat dengan Keputusan presiden atas usul Ketua Mahkamah agung;
9.       Calon Hakim Ad Hoc diajukan oleh Ketua Mahkamah agung dari nama yang disetujui oleh Menteri atas usul serikat pekerja/ serikat buruh atau organisasi pengusaha;
10.    Hakim Ad hoc mempunyai masa tugas dalam jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali jabatan.
Pengangkatan Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan dan sumebr daya yang tersedia. Untuk pertama kalinya pengangkatan Hakim Ad Hoc Pengadilan hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri paling sedikit 5 (lima) orang dari unsur serikat pekerja/ serikat buruh dan 5 (lima) orang dari unsur organisasi pengusaha;
11.    Majelis Hakim yang bertugas untuk memeriksa dan memutus perselisihan dalam Pengadilan Hubungan Industrial terdiri dari 1 (satu) orang Hakim sebagai Ketua Majelis dan 2 (dua) orang Hakim Ad Hoc sebagai Anggota Majelis yang memeriksa dan memutus perselisihan;
12.    Hakim Ad Hoc yang bertugas masing-masing 1 (satu) orang dari unsur serikat pekerja/ serikat buruh dan 1 (satu) orang dari unsur organisasi pengusaha;
13.    Pemeriksaan yang dilakukan oleh Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial dalam dilakukan dengan cara:
a.    Pemeriksaan dengan Acara Biasa;
b.    Pemeriksaan dengan acara Cepat;
14.    Dalam mengambil putusan, majelis hakim Pengadilan Hubungan Industrial harus mempertimbangkan hukum, perjanjian yang ada, kebiasaan keadilan.
c.   Dan Pada Mahkamah Agung Paling Lama 30 Hari Kerja;

E.  Susunan Majelis Hakim pada Pengadilan hubungan Industrial terdiri dari 1 (satu) orang hakim karir sebagai Ketua Majelis dan 2 (dua) orang hakim ad hoc yang diangkat atas usul masing-masing dari serikat pekerja/ buruh dan dari organisasi pengusaha, demikian pula pada Majelis Kasasi;
F.   Hukum Acara (hukum formal) yang berlaku pada pengadilan ini adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum kecuali yang diatur secara khusus dalam Undang-undang No. 2 tahun 2004 tentang penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;
G.  Sedangkan Hukum Materiil yang mengatur adalah:
a.       Undang-undang No. 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian Perselisihan hubungan Industrial;
b.       Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
c.       Undang-undang No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Buruh/ Pekerja;
d.       Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) Buku III;
e.       Perjanjian Kerja Bersama yang dibuat antara Serikat Buruh/ Pekerja dengan Pengusaha;
f.        Peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur masalah ketenagakerjaan (Peraturan Pemerintah, Peraturan menteri Tenaga Kerja, dll);
H.  Khusus dalam pengadilan hubungan Industrial ini harus melihat pada perlindungan terhadap hak-hak buruh/pekerja, perlindungan pada pengusaha, iklim investasi, perekonomian secara makro (negara), masalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian.



DAFTAR BACAAN

1.       Abdurahman, H., DR, S.H, M.H., Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia Dalam Era Reformasi, STIH Sultan adam, Banjarmasin, 2005.
2.       Abdul aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, 1 ABD-FIK, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997.
3.       Achmad Ali, Sosiologi Hukum, Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, Jakarta: BP IBLAM, 2004.
4.       Atmasasmita, Romli, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2001.
5.       Bagir Manan, Mengadili Menurut Hukum, Varia Peradilan, Tahun XX No. 238, Juli 2005-11-25.
6.       Bisman Siregar, Keadilan Hukum Dalam Berbagai Aspek Hukum Nasional, CV. Rajawali, Jakarta: 1998;
7.       Djumadi, SH., M. Hum, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, PT. Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
8.       F.X. Djumialdji, SH. M. Hum, Perjanjian Kerja, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.
9.       Hari Supriyanto, SH. M.Hum, Perubahan Hukum Privat ke Hukum Publik, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2004.
10.    Lalu Husni, SH., M.Hum, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan Di Luar Pengadilan, PT. Rdja Grafindo Persada, Jakarta, 2005-11-25
11.    Muchsin, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Kebijakan Asasi, BP IBLAM, Jakarta, 2004.
12.    R. Gunawan Oetomo, SH. MPA, Pengantar Hukum Perburuhan dan Hukum Perburuhan di Indonesia, Grhadhika Press, 2004.
13.    Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
14.    Sehat Damanik, Hukum Acara Perburuhan, DSS Publishing, 2005.
15.    Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, 2003.
16.    Suhrawardi K Lubis, Etika Profesi hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2002.








Malang, 26 Oktober 2006
Nomor            : 070/MSB-LAW-FIRM/X/2006
Lamp              : Surat Kuasa Khusus
H a l                : Gugatan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Kepada yth    : Ketua Pengadilan Hubungan Industrial
                        Pada Pengadilan Negeri Surabaya
                        Di –
                                  S u r a b a y a


Dengan Hormat,
Perkenankanlah kami Masbuhin, SH., Dan Firman Wahyudien, SH., Advokat pada Firma Hukum “MSB LAW FIRM AND PARTNERS” Counsellors and Attorneys at Law berkedudukan hukum di Jl. Raya Sengkaling No. 194 Malang Jawa Timur ;

Berdasarkan surat kuasa khusus, tertanggal 05 September 2006 yang telah bermaterai cukup serta aslinya terlampir bersama ini bertindak untuk dan atas nama :

PT. ILATO METER Tbk., berkedudukan di Jakarta, dengan salah satu kantor cabangnya di Malang, beralamat di Jl. Karanglo No.24 Malang ;
Untuk selanjutnya disebut sebagai - - - - - - - - - - -- - - - - - - - - - -PENGGUGAT ;

Guna menyusun, menandatangani dan mengajukan gugatan dihadapan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di Surabaya terhadap :

I.        Philip Frans Maurin, beralamat di Jl. Raya Bunut – Wetan RT 01 RW 01 Malang ;
Untuk selanjutnya disebut  sebagai - - - - - - - - - - - - -  - - - - - - -Tergugat I;

II.       F.X.Sakarianto, beralamat di Jl. Bantaran Barat III No. 16 Malang ;
Untuk selanjutnya disebut -  - - - - - - - - - -  - - - - - - - - - - - - - - Tergugat II;

III.      Ir. Prihandoko, beralamat di Jl. Kertopamuji 50A Malang ;
Untuk selanjutnya disebut  sebagai - -- - - - - - - - - - - - - - - - - -Tergugat III;

IV.     Ir. Prambudi Andika, beralamat di Jl. Ciliwung Gg II No. 34A RT 07 RW VII Malang ;
Untuk selanjutnya  disebut - - - - - - - - - - - - - - -  - - - - - - - - - -Tergugat IV;

(selanjutnya secara bersama-sama disebut sebagai “PARA TERGUGAT”)

Bahwa, adapun surat gugatan ini diajukan berdasarkan pada kejadian-kejadian dan atau alasan-alasan seperti terurai dibawah ini :

1.    Hal-hal yang mendasari diajukannya gugatan ini kepada Tergugat I adalah:
  1. Bahwa, Tergugat I adalah karyawan Penggugat sejak tanggal 30 Mei 2003 (Bukti P-1Ai dan P-1Aii);
  2. Bahwa, Tergugat I terakhir menempati posisi sebagai Supir/ Pengemudi Direct Sale pada toko penggugat di Malang dengan gaji/ upah terakhir sebesar Rp 730.000,- (Bukti P-1B).
  3. Bahwa, pada tanggal 4 Agustus 2005, Tergugat I telah mendapat Surat Peringatan I (Bukti P-1C) dari Penggugat karena melanggar ketentuan Peraturan Perusahaan Pasal 26 angka 9 tentang Jenis-jenis Kesalahan yang dapat dikenakan SP I (Bukti P-1D) yaitu pada tanggal 11 Juli 2005, Tergugat I meninggalkan tugas/ pekerjaannya tanpa ijin dari atasannya pada saat dibutuhkan dalam melaksanakan tugasnya yaitu untuk mengantar karyawan Direct Sale.
  4. Bahwa, pada tanggal 18 Oktober 2005, Penggugat telah memanggil Tergugat I untuk pembinaan/ konseling karena:
i.      pada tanggal 29 September 2005 tidak masuk kerja tanpa pemberitahuan/ alasan yang sah;

Tidak ada komentar:

Posting Komentar