Minggu, 12 Februari 2012

ACARA PERMOHONAN CERAI TALAK


ACARA PERMOHONAN CERAI TALAK
u Permohonan cerai talak diatur dalam pasal 66 – 72 UU No. 7/ 1989, pasal 14 – 18 PP. No. 9/1975, BAB XVI pasal 113 – 148 Kompilasi Hukum Islam, sebagai hukum acara khusus.
Tatacara penyelesaian permohonan cerai talak diatur sebagai berikut:
u Perceraian hanya dapat dilakukan dimuka sidang.
  1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (pasal 39 (1) UUP).
  2. Permohonan cerai talak, meskipun memakai istilah permohonan tetapi harus diproses sebagai perkara contentius, karena di dalamnya mengandung unsur sengketa serta untuk melindungi hak-hak istreri dalam mencari upaya hukum.
u Surat Pemohonan cerai talak
  1. Seorang suami yang beragama Islam (melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam), yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan agama untuk mengadakan sidang guna penyaksian ikrar talak (pasal 86 ayat (1) UU -PA).
  2. Permohonan tersebut di atas memuat:
                a. Nama, umur dan tempat kediaman  pemohon, yaitu suami dan termohon  yaitu isteri.
                b. Alasan-alasan yang menjadi dasar  cerai talak (pasal 67 UU – PA)
  1. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami isteri (pasal 39 ayat (2) UUP).
  2. Alasan-alasan untuk melakukan perceraian telah diatur secara limitatif dalam penjelasan pasal 39 (2) UUP, pasal 19 PP. No. 9/ 1975, pasal 116 KHI.
u Petitum dalam surat permohonan cerai talak dapat berbunyi:
  1. “Mengabulkan permohonan Pemohon”
  2. “Menetapkan, mengijinkan kepada Pemohon A untuk mengucapkan ikrar talak terhadap termohon B di depan sidang Pengadilan Agama ……”
  3. “Menetapkan akan membuka sidang guna menyaksikan ikrar talak Pemohon dimaksud”.
  4. “Menetapkan biaya menurut hukum”.
                Sesuai apa yang dikehendaki oleh pasal 14 PP. No. 9/ 1975, pasal 66 ayat (1) UU-PA

ACARA CERAI GUGAT
u Gugatan cerai (cerai gugat) diatur dalam pasal 40 UU No. 1/ 1974, pasal 20 – 36 PP. No. 9/1975, pasal 73 – 88 UU No. 7/1989, pasal 113 – 148 Kompilasi Hukum Islam.
Tata cara penyelesaian cerai gugat di atur sebagai berikut:
u Gugatan cerai diajukan kepada Pengadilan Agama
  1. Cerai gugat diajukan oleh seorang isteri yang melakukan perkawinan menurut agama Islam (penjelasan pasal 20 PP No. 9/1975)
  2. Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan agama (pasal 40 ayat (1) jo pasal 63 ayat (1) tahun 1974).
u Surat Pemohonan cerai talak
  1. Seorang suami yang beragama Islam (melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam), yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan agama untuk mengadakan sidang guna penyaksian ikrar talak (pasal 86 ayat (1) UU -PA).
  2. Permohonan tersebut di atas memuat:
                - Nama, umur dan tempat kediaman pemohon, yaitu suami dan termohon yaitu isteri.
                - Alasan-alasan yang menjadi dasar cerai  talak (pasal 67 UU – PA)
u Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami isteri (pasal 39 ayat (2) UUP).
u Alasan-alasan untuk melakukan perceraian telah diatur secara limitatif dalam penjelasan pasal 39 (2) UUP, pasal 19 PP. No. 9/ 1975, pasal 116 KHI.
u Petitum dalam surat permohonan cerai talak dapat berbunyi:
  1. “Mengabulkan permohonan Pemohon”
  2. “Menetapkan, mengijinkan kepada Pemohon A untuk mengucapkan ikrar talak terhadap termohon B di depan sidang Pengadilan Agama ……”
  3. “Menetapkan akan membuka sidang guna menyaksikan ikrar talak Pemohon dimaksud”.
  4. “Menetapkan biaya menurut hukum”.
                Sesuai apa yang dikehendaki oleh pasal 14 PP. No. 9/ 1975, pasal 66 ayat (1) UU-PA


ACARA CERAI GUGAT
u Gugatan cerai (cerai gugat) diatur dalam pasal 40 UU No. 1/ 1974, pasal 20 – 36 PP. No. 9/1975, pasal 73 – 88 UU No. 7/1989, pasal 113 – 148 Kompilasi Hukum Islam.
Tata cara penyelesaian cerai gugat di atur sebagai berikut:
u Gugatan cerai diajukan kepada Pengadilan Agama
  1. Cerai gugat diajukan oleh seorang isteri yang melakukan perkawinan menurut agama Islam (penjelasan pasal 20 PP No. 9/1975)
  2. Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan agama (pasal 40 ayat (1) jo pasal 63 ayat (1) tahun 1974).
  3. Surat gugatan cerai
3. Surat gugatan cerai memuat:
                a. nama, umur dan tempat  kediaman penggugat, yaitu  isteri, dan tergugat yaitu suami;
                b. alasan-alasan yang menjadi  dasar perceraian;
                c. petitum perceraian.
4. Gugatan cerai dapat diajukan berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang diatur dalam penjelasan pasal 39 ayat (2) UU No. 1/1974, pasal 19 PP No. 9 tahun 1975, pasal 116 dan 51 Kompilasi Hukum Islam, yaitu:
                a. Suami berbuat zina atau menjadi pemabuk,  pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang
                 sukar disembuhkan;
b. Suami meninggalkan isteri selama 2 (dua) tahun  berturut-turut tanpa ijin isteri dan tanpa alasan  yang sah atau karena hal lain diluar  kemampuannya;
c. Suami mendapat hukuman penjara 5 (lima)  tahun atau hukuman yang lebih berat setelah
   perkawinan berlangsung;
                d. Suami melakukan kekejaman atau penganiayaan  berat yang membahayakan pihak isteri;
e.      Suami mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami;
f.        Anata suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
g.       Suami melanggar ta’lik talak
h.      Suami murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga;
i.         Suami melanggar perjanjian perkawinan (pasal 51 KHI)
u Kewenangan relatif Pengadilan Agama
  1. Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada Pengadilan agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali dalam hal:
a. Penggugat dengan sengaja meninggalkan  tempat kediaman bersama tanpa ijin  tergugat, maka gugatan cerai diajukan kepada  Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi  tempat kediaman tergugat,
b. Penggugat bertempat kediaman di Luar negeri, maka    gugatan perceraian juga diajukan kepada Pengadilan  Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat  kediaman tergugat,
c. Penggugat dan tergugat bertempat kediaman di Luar  negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat  perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada          Pengadilan Agama Jakarta Pusat (pasal 73 UU No.  7/1989).
  1. Gugatan cerai diproses di Kepaniteraan Gugatan dan dicatat dalam Register Induk Perkara Gugatan.
Pemanggilan Pihak-pihak
Pemanggilan pihak-pihak dalam perkara cerai gugat dilakukan sama dengan panggilan dalam perkara cerai talak.
Panggilan terhadap para pihak yang tempat kediamannya berada di wilayah Pengadilan lain, dilakukan melalui Pengadilan Agama di Tempat kediaman pihak yang dipanggil (pasal 103 (2) UU-PA).
Pemeriksaan
Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Majelis Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat gugatan perceraian didaftarkan di Kepaniteraan.
Pemeriksaan dilakukan dalam sidang tertutup, demikian pula pemeriksaan terhadap saksi-saksi (pasal 80 UU No. 7/1989, pasal 33 PP No. 9/ 1975)
Tenggang waktu antara pendaftaran perkara dengan pemeriksaan sama dengan dalam perkara cerai talak.



Komulasi perkara
Gugatan soal pengausaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 86 (1) UU-PA).
Tata cara pemeriksaan komulasi perkara ini sama dengan dalam perkara cerai talak. Apabila tergugat mengajukan rekonpensi maka diselesaikan menurut tata cara rekonpensi.
Upaya perdamaian
Upaya perdamaian dalam perkara gugatan cerai  dilakukan sama seperti dalam perkara cerai talak.
Gugat provisionil
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditumbuhkan, Pengadilan dapat mengijinkan suami steri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah (pasal 77 UU-PA, pasal 24 PP No. 9/1975).
Permohonan tersebut dapat diajukan secara lisan  dalam persidangan dan dicatat dalam berita acara Persidangan. Ijin untuk tidak tinggal dalam satu rumah diberikan oleh Hakim dalam persidangan  dan dicatat dalam berita acara persidangan.
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas  permohonan penggugat, pengadilan dapat:
a. Menentukan nafkah yang ditanggung oleh suami
b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak.
 c. Menentukan hal-hal yang perlu menjamin  terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak  bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri (pasal 78 UU-PA, pasal 24 PP No. 9/1975)
Gugatan tersebut di atas merupakan gugatan provisionil dan karenanya diselesaikan menurut tata cara gugatan provisonil dan karenanya diselesaikan menurut tata cara  gugatan provisionil sebagaimana telah diuraikan pada
Bab VI Bagian N sub 5 tentang gugatan Provisionil.
ACARA PERMOHONAN IJIN POLIGAMI
u Permohonan ijin beristeri lebih dari seorang (poligami) diatur dalam pasal-pasal 3, 4 dan 5 UU No. 1/1974, pasal 40 – 44 PP No. 9/1975, pasal 55 – 59 Kompilasi Hukum Islam.
Tata cara permohonan ijin poligami diatur sebagai berikut:
u Poligami harus ada ijin dari Pengadilan Agama
        1. Seorang suami yang hendak beristeri  lebih dari seorang (poligami) harus mendapat ijin lebih dahulu dari Pengadilan  Agama di tempat tinggalnya (pasal 4 ayat  (1) UU No. 1/1974).
u Kewenangan relatif PA
3.       Permohonan ijin untuk beristeri lebih dari seorang diajukan kepada Pengadilan Agama  di tempat tinggalnya (pasal 4 ayat (1) UU No. 1/1974)

 Surat Permohonan
    3. Surat permohonan ijin beristeri lebih dari seorang harus memuat:
a. nama, umur, dan tempat kediaman  Pemohon, yaitu suami dan termohon, yaitu isteri/ isteri-isteri;
      b. alasan-alasan untuk beristeri lebih dari seorang;
       c. petitum.
    4.  Permohonan ijin poligami merupakan  perkara contentius, karena harus ada (diperlukan) persetujuan isteri. Karena  itu, perkara ini diproses di Kepaniteraan  Gugatan dan didaftar dalam perkara Register  Induk Perkara Gugatan.
Pemeriksaan
Pemeriksaan permohonan ijin poligami dilakukan oleh Majelis Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya (pasal 42 ayat (2) PP No. 9/1975).
Pada dasarnya, pemerisaan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum, kecuali apabila karena alasan-alasan tertentu menurut pertimbangan hakim yang dicatat dalam Berita Acara Persidangan, pemeriksaan dapat dilakukan dalam sidang tertutup (pasal 17 yat (1) UU No. 14/1970)
 Upaya damai
Pada sidang pertama pemeriksaan perkara ijin poligami, Hakim  berusaha mendamaikan (pasal 130  ayat (1) HIR).
Jika tercapai perdamaian, perkara  dicabut kembali oleh pemohon.
Pembuktian
Pengadilan Agama kemudian memeriksa mengenai:
·         Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, sebagai syarat alternatif yaitu:
·         bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
  • bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau
  • bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
  • Ada atau tidak adanya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, yang harus dinyatakan didepan sidang.
  • Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak dengan memperlihatkan:
  • Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja, atau
ii.             Surat keterangan pajak penghasilan; atau
iii.            Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan.
ada atau tidak adnya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.

SEJARAH PERADILAN AGAMA


  •  Pada jaman penjajahan Belanda dan Jepang.
  •  Pada jaman setelah kemerdekaan
  • Setelah UU No. 7/1989 lahir
Kedudukan Peradilan Agama
        Menurut UU No. 14/1970 jo UU No. 4/2004
        Menurut UU No. 7/1989
Wewenang Peradilan Agama
u Pasal 49 UU No. 7/1989
ü  Tentang perkawinan
ü  Tentang warisan
ü  Tentang wakaf
ü  Tentang hibah
ü  Tentang wasiat
Hukum Acara Peradilan Agama
u Mekanisme penyelesaian perkara di PA
u Pelaksanaan putusan PA
u Perbandingan penyelesaian perkara di PA dan PN khusus bagi masyarakat Islam
u Pilihan hukum orang Islam dalam menyelesaikan perkara setelah UU No. 7/1989

Sejarah Peradilan Agama
Masa Belanda:
l  Theori Receptie in Complexu (van den berg), “Hukum yang berlaku bagi orang Indonesia asli adalah UU agama mereka (goosdientige wetten)” vide staadblad 1855 No. 2
l  Theori Receptie (C. Snouck Hurgronje) “Hukum Islam dapat diterapkan selama hukum tersebut telah meresap pada hukum adat, atau hukum islam dapat dianggap suatu hukum jika tidak bertentangan dengan hukum adat.“ Vide Pasal 134 ayat 213 (indsche staatsregeling) yang menyatakan :
            “Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang islam akan diselesaikan oleh hakim agama islam apabila keadaan tersebut telah diterima oleh hukum adat mereka dan sejauh tidak ditentukan oleh ordonansi”

Indonesia Merdeka:
l  UU Darurat No. 1 tahun 1951 → Pemerintah tetap mempertahankan peradilan agama
l  PP No. 45 tahun 1957 → Dibentuk peradilan Agama diluar jawa dan kalimantan
            1. Stbl 1882 No. 152 jo Stbl 1937 No. 116 dan 610 : Peradilan Agama di Jawa dan Madura.
            2. Stbl 1937 No. 638 dan dan 639: Peradilan Agama di Kalimantan Selatan.
            3. PP No. 45/ 1957 : Peradilan agama diluar Jawa dan Kalimantan Selatan

KEDUDUKAN PA
Setelah lahir UU No. 14/ 1970 jo UU No. 4/ 2004 pasal 10 ayat 1 dinyatakan : Kekuasaan Kehakiman ditentukan oleh Pengadilan dan Lingkungan :
            a. Peradilan Umum
            b. Peradilan Agama
            c. Peradilan Militer
            d. Peradilan TUN
Jadi Kekuasaan Kehakiman = MA, Badan Peradilan dan MK (vide Pasal 10 UU No. 4/ 2004)
Menurut UU No. 7/1989
¤ Peradilan Agama = UU No. 7/ 1989
Eksistensi PA dalam UU No. 7/ 1989 Pasal 2:
“PA merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman  bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu”
n  Hukum acara Peradilan agama → UU No. 7/ 1989 Pasal 54:
“Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam UU ini”
Kewenangan PA
o  Anak dalam kandungan
            1. Sah/tidaknya kehamilan;
            2. Status anak dalam kandungan sebagai 
                          ahli waris;
            3. Bagian warisan anak dalam kandungan;
            4. Kewajiban orang tua terhadap anak    
                          dalam kandungan;
o  Kelahiran
            1. Penentuan sah/tidaknya anak;
            2. Penentuan asal-usul anak;
            3. Penentuan status anak/pengakuan anak;
o  Pemeliharaan anak
            1.   Perwalian terhadap anak;
            2.   Pencabutan kekuasaan orang tua;
            3.   Penunjukan/ Penggantian wali;
            4.   Pemecatan wali;
            5.   Kewajiban orang tua/ wali terhadap anak;
            6.   Pengangkatan anak; anak sipil, anak terlantar;
            7.   Sengketa hak pemeliharaan anak;
            8.   Kewajiban orang tua angkat terhadap anak angkat;
            9.   Pembatalan pengangkatan anak;
            10. Penetapan bahwa ibu turut memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak;
o  Perkawinan (Akad Nikah)
            1.   Sengketa pertunangan dan akibat hukumnya;
            2.   Dispensasi kawin dibawah umur 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita;
            3.   Ijin kawin dari orang tua bagi yang belum berumur 21 tahun;
            4.   Wali Adhol (Permenag. No. 2/1987);
            5.   Pencegahan kawin;
            6.   Penolakan kawin oleh PPN;
            7.   Ijin beristri lebih dari seorang;
            8.   Penetapan sahnya perkawinan;
            9.   Pembatalan perkawinan;
            10. Penolakan ijin perkawinan campuran oleh PPN;
            11. Penetapan sah/tidaknya rujuk;
o  Hak dan Kewajiban suami istri
            1. Mahar;
            2. Penghidupan istri (nafkah, kiswah, maskah, dan sebagainya);
            3. Gugatan atas kelalaian suami terhadap istri;
            4. Penetapan nusyuz;
            5. Perselisihan suami istri
            6. Gugatan atas kelalaian istri;
            7. Muth’ah;
            8. Nafkah iddah;
            9. Sengketa tempat kediaman bersama suami  istri;

o  Harta Benda dalam Perkawinan.
            1. Penentuan status harta benda dalam perkawinan;
            2. Perjanjian harta benda dalam perkawinan;
            3. Pembagian harta benda dalam perkawinan;
            4. Sengketa pemeliharaan harta benda dalam perkawinan;
            5. Sita marital atas harta perkawinan;
            6. Sengketa hibah;
            7. Sengketa wakaf;
            8. Harta bawaan suami istri;
o  Putusnya Perkawinan
            1. Penentuan putusnya perkawinan karena kematian;
            2. Perceraian atas kehendak suami (cerai talak);
            3. Perceraian atas kehendak istri
(cerai gugat yg di dlmnya mliputi masalah ttg li’an,khuluk, fasakh, &sebagainya);
            4. Putusnya perkawinan karena sebab-sebab lain;

o  Pemeliharaan Orang Tua
            1. Kewajiban anak terhadap orang tua (pasal  46 UUD);
            2. Kewajiban anak angkat terhadap orang tua angkat;
o  Kematian
            1. Penetapan kematian secara yuridis, misalnya karena mafqud (pasal 96 ayat (2) KHI);
            2. Penetapan Sah/tidaknya Wasiat;
o  Kewarisan
            1. Penentuan ahli waris;
            2. Penentuan mengenai harta peninggalan;
            3. Penentuan bagian masing-masing ahli waris;
            4. Pembagian harta peninggalan;
            5. Penentuan kewajiban ahli waris terhadap  pewaris;
            6. Pengangkatan wali bagi ahli waris yang tidak cakap bertindak;
            7. Baitul mal.
Sengketa/Konflik/Perselisihan
Timbulnya sengketa :
  1. Karena adanya perbedaan antara Das Sollen dan Das Sein ------- Sifat Normatif
  2. Karena adanya pebedaan antara apa yang diinginkan dengan apa yang terjadi-----------Sifat Individual/emosional
Penyelesaian Sengketa
o  Secara Musyawarah, apabila tidakl berhasil maka minta bantuan pihak ketiga yaitu badan perorangan atau lembaga sosial/bisnis yang ada dan jika ini tidak berhasil selanjutnya akan dibawa ke Pengadilan
o  Sengketa itu diselesaikan lewat musyawarah dan apabila tidak berhasil kemudian langsung di bawa ke pengadilan
o  Sengketa itu langsung dibawa ke pengadilan 
JAWAB MENJAWAB DALAM
HUKUM ACARA PERDATA DAN PRAKTEK PERADILAN
GAMBARAN UMUM
            Mekanisme atau proses pemeriksaan perkara perdata di sidang pengadilan dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagaimana diatur dalam hukum acara perdata, setelah hakim terlebih dahulu berusaha dan tidak berhasil mendamaikan para pihak yang bersengketa.






Penjelasan atas skema diatas adalah sebagai berikut :
  1. Pembacaan Surat Gugatan Penggugat (Pasal131 HIR/155 Rbg)
  2. Upaya Perdamaian
             
Kalau pada hari sidang yang telah ditetapkan kedua belah pihak hadir, maka hakim harus berusaha mendamaikan mereka (Pasal 130 HIR/154RBg). Pada saat inilah hakim dapat berperan secara aktif sebagaimana dikehendaki oleh HIR. Untuk keperluan perdamaian itu sidang lalu ditunda untuk memberi kesempatan mengadakan perdamaian. Pada hari sidang berikutnya apabila mereka berhasil mengadakan perdamaian, disampaikanlah kepada hakim di persidangan hasil perdamaiannya, yang lazimnya berupa surat perjanjian di bawah tangan yang yang ditulis diatas kertas yang bermaterai. Berdasarkan adanya perdamaian antara kedua belah pihak itu, maka hakim menjatuhkan putusannya (Acte van vergelijke), yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi perdamaiannya yang telah dibuat antara mereka. Adapun kekuatan putusan perdamaian ini sama dengan putusan biasa dan dapat dilaksanakan seperti putusan-putusan lainnya. Hanya dalam hal ini Banding tidak dimungkinkan. Usaha perdamaian ini terbuka sepanjang pemeriksaan di persidangan.
3. Apabila upaya damai tidak berhasil dilanjutkan dengan proses jawab-jinawab, sementara upaya damai masih bisa dilakukan oleh para pihak diluar persidangan.
Jawab-menjawab meliputi :
  1. Jawaban Pertama Tergugat atas gugatan penggugat,
    dalam bentuk :
    - Eksepsi
    - Konvensi
    - Rekonvensi
2. REPLIK artinya Jawaban/Tanggapan Penggugat atas jawaban pertama Tergugat,tanggapan terhadap:
    - Eksepsi
    - Konvensi
    - Rekonvensi
3. DUPLIK artinya Jawaban/tanggapan Tergugat atas Replik Penggugat.
4. Pembuktian para pihak
    Pembuktian ini dimulai dari Pihak Penggugat terlebih
    dahulu, yang meliputi :
    - Bukti Surat
    - Bukti Saksi
Dilanjutkan pembuktian dari Pihak Tergugat, meliputi :
- Bukti Surat
- Bukti Saksi
Catatan : Apabila dipandang perlu para pihak dapat
               mengajukan bukti lain berupa Pemeriksaan
               saksi ahli atau pemeriksaan setempat.
5. Kesimpulan
6. Musyawarah Majelis Hakim
7. Putusan
GUGATAN
¤ Dasar Hukum: Pasal 118 (1) HIR/ 142 (1) RBg
                                       Pasal 119 HIR/ 143 RBg
                                       Pasal 163 HIR/ 283 RBg
Pengertian       : suatu permohonan yang disampaikan kepada ketua pengadilan Negeri yang berwenang, mengenai suatu tuntutan hak terhadap pihak lainnya, dan harus diperiksa menurut tata cara tertentu oleh Pengadilan, serta kemudian diambil putusan terhadap gugatan tersebut.

SYARAT-SYARAT GUGATAN
» Syarat-syarat sebuah gugatan tidak diatur di dalam HIR/RBg, kedua peraturan diatas hanya
   mengatur tentang tata cara mengajukan gugatan.
» Akan tetapi didalam pasal 8 nomor 3 RV, dapat diketemukan sebuah aturan bahwa gugatan itu
   haruslah memenuhi 3(tiga) unsur yaitu :
1. Identitas dan kedudukan para pihak
    Identitas ini meliputi : nama, umur, pekerjaan, agama, alamat terakhir
    Kedudukan para pihak ini meliputi : Penggugat/Tergugat, Pemohon/Termohon,      Pelawan/Terlawan dll.
2. Posita/ Dasar gugatan/ Fundamentum Petendi/
    Middelen Van De Eis
    Artinya Peristiwa-peristiwa atau kejadian yang diuraikan oleh Penggugat dalam gugatannya
    dengan disertai dasar hukumnya.
Dalam praktek dalam posita ini akan dijumpai 2 (dua) hal,yaitu:
  1. Perihal fakta-fakta atau peristiwa hukum (rechtfeiten) yang menjadi dasar gugatan tersebut.
2. Perihal hukumnya yaitu uraian tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis daripada tuntutan. Tetapi harus diingat bahwa uraian yuridis ini bukanlah merupakan penyebutan peraturan-peraturan hukum yang dijadikan dasar tuntutan.