Perkara koneksitas adalah suatu
perbuatan pidana dilakukan oleh militer secara bersama-sama dengan masyarakat
sipil, diatur dalam pasal 89 – 94 KUHAP, Keterlibatan anggota militer
bersama-sama dengan orang sipil dalam melakukan suatu tindak pidana dalam hukum
pidana termasuk dalam perkara koneksitas, artinya ada dua pengadilan yang
berada dalam lingkup peradilan yaitu peradilan umum bagi orang sipil dan
peradilan militer bagi mereka yang anggota militer. Bagi orang sipil tunduk
sepenuhnya pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sedangkan bagi
anggota militer tunduk pada Hukum acara yang diatur dalam Undang-undang No. 31
Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Artinya para pihak berasal dari
lingkungan peradilan yang berbeda. dalam ketentuan pasal 10 ayat (2)
Undang-Undang nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dikenal empat
lingkungan peradilan yang berada dalam lingkungan Mahkamah Agung, yang mana
masing-masing lembaga peradilan memiliki kompetensi dan kewenangan yang berbeda
dalam mengadili, Kewenangan masing-masing lingkungan peradilan bersifat absolut
dan tidak bisa dicampuri oleh lingkungan peradilan lain.
Suatu perkara koneksitas diperiksa dalam lingkungan peradilan militer hanya apabila terdapat 2 hal yaitu :
1. Jika ada keputusan Menteri Pertahanan
yang mengharuskan perkara koneksitas ini diperiksa dan diadili oleh lingkungan
Peradilan Militer.
2. Keputusan Menteri Pertahanan tersebut
telah mendapat persetujuan dari Menteri hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) bahwa
perkara koneksitas itu diperiksa dan diadili oleh oleh lingkungan Peradilan
Militer.
pasal 89 kuhap Lebih jelasnya lagi
dalam pasal 24 uu no 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman mengatakan
“tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan
peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali dalam keadaan tertentu
menurut keputusan mahkamah agung perkara tersebut harus diperiksa dan diadili
oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Dalam penjelasan pasal ini
menjelaskan yang dimaksud dalam “keadaan tertentu” adalah dilihat
dari titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut. Jika
titik berat kerugian terletak pada kepentingan militer, perkara tersebut
diadili oleh pengadilan di lingkungan peradilan militer, sedangkan Jika titik
berat kerugian terletak pada kepentingan umum, maka perkara tersebut diadili oleh
pengadilan di lingkungan peradilan umum.
Berdasarkan hal inilah jelas bahwa
terlebih dahulu harus ada kajian untuk menentukan peradilan mana yang lebih
kompeten dalam mengadili perkara tersebut. Dalam pasal 90 ayat 1 kuhap dikatakan , untuk menetapkan apakah
pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum yang akan mengadili perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam
pasal 89 ayat 1, diadakan penelitian
bersama oleh jaksa atau jaksa tinggi dan oditur militer oditur militer tinggi atas
dasar hasil penyidikan tim tersebut pada pasal
89 ayat 2. selanjutnya pendapat dan penelitian tersebut dituangkan dalam berita acara yang
ditandatangani oleh para pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1.
Jika dalam penelitian bersama itu
terdapat persesuaian pendapat
tentang pengadilan yang berwenang mengadili perkara tersebut, maka hal itu dilaporkan oleh jaksa atau jaksa tinggi
kepada kejagung dan oleh oditur militer atau oditur militer tinggi kepada
jenderal angkatan bersenjata RI (Panglima TNI).
Apabila menurut pendapat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3)
titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada
kepentingan umum dan karenanya perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
maka perwira penyerah perkara segera membuat surat keputusan penyerahan perkara yang diserahkan melalui oditur militer atau oditur militer tinggi
kepada penuntut umum, untuk dijadikan dasar mengajukan perkara tersebut
kepada pengadilan negeri yang berwenang. Sedangkan apabila menurut pendapat itu
titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada
kepentingan militer sehingga perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan
dalam lingkungan peradilan militer, maka pendapat sebagaimaƱa dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) dijadikan dasar bagi Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia untuk mengusulkan
kepada Menteri Pertahan dan Keamanan,
agar dengan persetujuan Menteri
Kehakiman dikeluarkan keputusan
Menteri Pertahanan dan Keamanan yang menetapkan, bahwa perkara pidana tersebut
diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Dalam pasal 93 ayat 1 dikatakan
apabila dalam penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) terdapat
perbedaan pendapat antara penuntut umum dan oditur militer atau oditur militer
tinggi, mereka masing-masing melaporkan tentang perbedaan pendapat itu secara
tertulis, dengan disertai berkas perkara yang bersangkutan melalui jaksa
tinggi, kepada Jaksa Agung dan kepada Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia.
Sehingga berdasarkan hal itu Jaksa Agung dan Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia bermusyawarah untuk mengambil keputusan guna mengakhiri perbedaan pendapat tersebut.
Sehingga berdasarkan hal itu Jaksa Agung dan Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia bermusyawarah untuk mengambil keputusan guna mengakhiri perbedaan pendapat tersebut.
2. Proses Pemeriksaan Perkara koneksitas
a.
Penyidikan
perkara koneksitas
Pasal
89 (2) KUHAP telah menentukan cara dan aparat yang berwenang dalam melakukan
penyidikan terhadap perkara koneksitas. Aparat penyidik perkara koneksitas
terdiri dari suatu tim tetap, yang terdiri dari unsur :
a. Penyidik Polri;
b.
Polisi
Militer;
c.
Oditur
Militer atau Oditur Militer Tinggi
Cara bekerja tim disesuaikan dengan
kewenangan yang ada pada masing-masing unsur tim. Bila dilihat dari segi
wewenang masing-masing unsur tim, maka :
a.
tersangka
pelaku sipil diperiksa oleh unsur penyidik Polri.
b.
Sedangkan
tersangka pelaku anggota TNI/Polri diperiksa oleh penyidik dari Polisi Militer
dan Oditur Militer.
Susunan Majelis
Peradilan koneksitas
Susunan Majelis hukum peradilan perkara koneksitas
disesuaikan dengan lingkungan peradilan yang mengadili perkara tersebut.
Apabila perkara koneksitas diperiksa dan diadili oleh lingkungan peradilan
umum, maka susunan Majelis Hakimnya adalah :
o
Sekurang-kurangnya
Majelis Hakim terdiri dari tiga orang.
o
Hakim
Ketua diambil dari Hakim Peradilan Umum (Pengadilan Negeri).
o
Hakim
Anggota ditentukan secara berimbang antara lingkungan peradilan umum dengan
lingkungan peradilan militer.
Apabila perkara koneksitas diperiksa dan diadili oleh lingkungan Peradilan Militer, maka susunan Majelis Hakimnya adalah :
·
Hakim
Ketua dari lingkungan Peradilan Militer.
·
Hakim
Anggota diambil secara berimbang dari hakim Peradilan Umum dan Peradilan
Militer.
·
Hakim
Anggota yang berasal dari lingkungan Peradilan Umum diberi pangkat militer
“tituler”.
·
Yang
mengusulkan Hakim Anggota adalah Menteri hukum dan Hak Asasi Manusia bersama
dengan Menteri Pertahanan.
Susunan ini juga berlaku pada susunan
Majelis Hakim pada tingkat Banding.
Perkara Koneksitas
Memakan Waktu yang Lama
Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, suatu perkara hanya bisa disidangkan sebagai perkara koneksitas
jika ada keputusan dari Menteri Pertahanan dan telah disejui oleh Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia. Belum lagi menunggu hasil pengkajian dari tim penyidik yang
dibentuk untuk menentukan apakah perkara masuk lingkungan peradilan umum atau
militer, sehingga dapat kita bayangkan waktu yang akan diperlukan untuk
menyelesaikan perkara tersebut.
Hal ini pernah menjadi alasan dari
brigadir Jenderal Soenarko GA, selaku komandan polisi angkatan laut dalam kasus
pembunuhan Direktur PT Asaba Budyarto Angsono tahun 2004 silam. Ketika itu
pengacara Gunawan Santosa meminta untuk menyidangkan kasus tersebut secara
koneksitas, karena sesuai dengan dugaan awal terdakwa Gamawan dibantu oleh 4
orang marinir.
Seharusnya masalah ini juga perlu
untuk diperhatikan agar prinsip-prinsip pengadilan yang cepat. Tepat dan murah
dapat terwujud tanpa menyampingkan nilai-nilai keadilan yang sesunggunya.