Rabu, 16 November 2011

ACARA PERMOHONAN CERAI TALAK


ACARA PERMOHONAN CERAI TALAK
Permohonan cerai talak diatur dalam pasal 66 – 72 UU No. 7/ 1989, pasal 14 – 18 PP. No. 9/1975, BAB XVI pasal 113 – 148 Kompilasi Hukum Islam, sebagai hukum acara khusus.

Tatacara penyelesaian permohonan cerai talak diatur sebagai berikut:
a.       Perceraian hanya dapat dilakukan dimuka sidang.
  1. Perceraianb hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (pasal 39 (1) UUP).
  2. Permohonan cerai talak, meskipun memakai istilah permohonan tetapi harus diproses sebagai perkara contentius, karena di dalamnya mengandung unsur sengketa serta untuk melindungi hak-hak istreri dalam mencari upaya hukum.
b.      Surat Pemohonan cerai talak
  1. Seorang suami yang beragama Islam (melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam), yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan agama untuk mengadakan sidang guna penyaksian ikrar talak (pasal 86 ayat (1) UU -PA).
  2. Permohonan tersebut di atas memuat:
a.       Nama, umur dan tempat kediaman pemohon, yaitu suami dan termohon yaitu isteri.
b.      Alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak (pasal 67 UU – PA)
  1. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami isteri (pasal 39 ayat (2) UUP).
  2. Alasan-alasan untuk melakukan perceraian telah diatur secara limitatif dalam penjelasan pasal 39 (2) UUP, pasal 19 PP. No. 9/ 1975, pasal 116 KHI.
  3. Petitum dalam surat permohonan cerai talak dapat berbunyi:
1.      “Mengabulkan permohonan Pemohon”
2.      “Menetapkan, mengijinkan kepada Pemohon A untuk mengucapkan ikrar talak terhadap termohon B di depan sidang Pengadilan Agama ……”
3.      “Menetapkan akan membuka sidang guna menyaksikan ikrar talak Pemohon dimaksud”.
4.      “Menetapkan biaya menurut hukum”.
Sesuai apa yang dikehendaki oleh pasal 14 PP. No. 9/ 1975, pasal 66 ayat (1) UU-PA

ACARA CERAI GUGAT
Gugatan cerai (cerai gugat) diatur dalam pasal 40 UU No. 1/ 1974, pasal 20 – 36 PP. No. 9/1975, pasal 73 – 88 UU No. 7/1989, pasal 113 – 148 Kompilasi Hukum Islam.

Tata cara penyelesaian cerai gugat di atur sebagai berikut:
a.       Gugatan cerai diajukan kepada Pengadilan Agama
  1. Cerai gugat diajukan oleh seorang isteri yang melakukan perkawinan menurut agama Islam (penjelasan pasal 20 PP No. 9/1975)
  2. Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan agama (pasal 40 ayat (1) jo pasal 63 ayat (1) tahun 1974).
b.      Surat gugatan cerai
  1. Surat gugatan cerai memuat:
a.       nama, umur dan tempat kediaman penggugat, yaitu isteri, dan tergugat yaitu suami;
b.      alasan-alasan yang menjadi dasar perceraian;
c.       petitum perceraian.
  1. Gugatan cerai dapat diajukan berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang diatur dalam penjelasan pasal 39 ayat (2) UU No. 1/1974, pasal 19 PP No. 9 tahun 1975, pasal 116 dan 51 Kompilasi Hukum Islam, yaitu:
a.       Suami berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b.      Suami meninggalkan isteri selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ijin isteri dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c.       Suami mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d.      Suami melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak isteri;
e.       Suami mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami;
f.       Anata suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
g.      Suami melanggar ta’lik talak
h.      Suami murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga;
i.        Suami melanggar perjanjian perkawinan (pasal 51 KHI)
c.       Kewenangan relatif Pengadilan Agama
  1. Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada Pengadilan agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali dalam hal:
a.       Penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa ijin tergugat, maka gugatan cerai diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat,
b.      Penggugat bertempat kediaman di Luar negeri, maka gugatan perceraian juga diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat,
c.       Penggugat dan tergugat bertempat kediaman di Luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (pasal 73 UU No. 7/1989).
  1. Gugatan cerai diproses di Kepaniteraan Gugatan dan dicatat dalam Register Induk Perkara Gugatan.
d.      Pemanggilan Pihak-pihak
  1. Pemanggilan pihak-pihak dalam perkara cerai gugat dilakukan sama dengan panggilan dalam perkara cerai talak.
  2. Panggilan terhadap para pihak yang tempat kediamannya berada di wilayah Pengadilan lain, dilakukan melalui Pengadilan Agama di Tempat kediaman pihak yang dipanggil (pasal 103 (2) UU-PA).



e.       Pemeriksaan
  1. Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Majelis Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat gugatan perceraian didaftarkan di Kepaniteraan.
  2. Pemeriksaan dilakukan dalam sidang tertutup, demikian pula pemeriksaan terhadap saksi-saksi (pasal 80 UU No. 7/1989, pasal 33 PP No. 9/ 1975)
  3. Tenggang waktu antara pendaftaran perkara dengan pemeriksaan sama dengan dalam perkara cerai talak.
f.       Komulasi perkara
  1. Gugatan soal pengausaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 86 (1) UU-PA).
  2. Tata cara pemeriksaan komulasi perkara ini sama dengan dalam perkara cerai talak. Apabila tergugat mengajukan rekonpensi maka diselesaikan menurut tata cara rekonpensi.
g.      Upaya perdamaian
  1. Upaya perdamaian dalam perkara gugatan cerai dilakukan sama seperti dalam perkara cerai talak.
h.      Gugat provisionil
  1. Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditumbuhkan, Pengadilan dapat mengijinkan suami isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah (pasal 77 UU-PA, pasal 24 PP No. 9/1975).
  2. Permohonan tersebut dapat diajukan secara lisan dalam persidangan dan dicatat dalam berita acara Persidangan. Ijin untuk tidak tinggal dalam satu rumah diberikan oleh Hakim dalam persidangan dan dicatat dalam berita acara persidangan.
  3. selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat, pengadilan dapat:
a.       Menentukan nafkah yang ditanggung oleh suami
b.      Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak.
c.       Menentukan hal-hal yang perlu menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri (pasal 78 UU-PA, pasal 24 PP No. 9/1975)
  1. Gugatan tersebut di atas merupakan gugatan provisionil dan karenanya diselesaikan menurut tata cara gugatan provisonil dan karenanya diselesaikan menurut tata cara gugatan provisionil sebagaimana telah diuraikan pada Bab VI Bagian N sub 5 tentang gugatan Provisionil.


ACARA PERMOHONAN IJIN POLIGAMI
Permohonan ijin beristeri lebih dari seorang (poligami) diatur dalam pasal-pasal 3, 4 dan 5 UU No. 1/1974, pasal 40 – 44 PP No. 9/1975, pasal 55 – 59 Kompilasi Hukum Islam.

Tata cara permohonan ijin poligami diatur sebagai berikut:
a.       Poligami harus ada ijin dari Pengadilan Agama
  1. Seorang suami yang hendak beristeri lebih dari seorang (poligami) harus mendapat ijin lebih dahulu dari Pengadilan Agama di tempat tinggalnya (pasal 4 ayat (1) UU No. 1/1974).
b.      Kewenangan relatif PA
  1. Permohonan ijin untuk beristeri lebih dari seorang diajukan kepada Pengadilan Agama di tempat tinggalnya (pasal 4 ayat (1) UU No. 1/1974)
c.       Surat Permohonan
  1. Surat permohonan ijin beristeri lebih dari seorang harus memuat:
a.       nama, umur, dan tempat kediaman Pemohon, yaitu suami dan termohon, yaitu isteri/ isteri-isteri;
b.      alasan-alsan untuk beristeri lebih dari seorang;
c.       petitum.
  1. Permohonan ijin poligami merupakan perkara contentius, karena harus ada (diperlukan) persetujuan isteri. Karena itu, perkara ini diproses di Kepaniteraan Gugatan dan didaftar dalam perkara Register Induk Perkara Gugatan.
d.      Pemanggilan pihak-pihak
  1. Pengadilan Agama harus harus memanggil dan mendengar pihak suami dan isteri ke persidangan.
  2. Panggilan dilakukan menurut tata cara pemanggilan yang diatur dalam hukum acara perdata biasa yang diatur dalam pasal 390 HIR dan pasal-pasal yang berkaitan. (selanjutnya lihat Bab IV Bagian G tentang Pemanggilan pihak-pihak).
e.       Pemeriksaan
  1. Pemeriksaan permohonan ijin poligami dilakukan oleh Majelis Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya (pasal 42 ayat (2) PP No. 9/1975).
  2. Pada dasarnya, pemerisaan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum, kecuali apabila karena alasan-alasan tertentu menurut pertimbangan hakim yang dicatat dalam Berita Acara Persidangan, pemeriksaan dapat dilakukan dalam sidang tertutup (pasal 17 yat (1) UU No. 14/1970)
f.       Upaya damai
  1. Pada sidang pertama pemeriksaan perkara ijin poligami, Hakim berusaha mendamaikan (pasal 130 ayat (1) HIR).
  2. Jika tercapai perdamaian, perkara dicabut kembali oleh pemohon.
g.      Pembuktian
  1. Pengadilan Agama kemudian memeriksa mengenai:
a.       Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, sebagai syarat alternatif yaitu:
-          bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
-          bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau
-          bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
b.      Ada atau tidak adanya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, yang harus dinyatakan didepan sidang.
c.       Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak dengan memperlihatkan:
i.        Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja, atau
ii.   Surat keterangan pajak penghasilan; atau
iii. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan.
d.      ada atau tidak adnya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.
  1. Sekalipun sudah ada persetujuan tertulis dari isteri persetujuan ini harus dipertegas dengan persetujuan lisan di depan sidang, kecuali dalam hal isteri telah dipanggil dengan patut dan resmi tetapi tidak hadir dalam sidang dan tidak pula menyuruh orang lain sebagai wakilnya.
  2. Persetujuan dari isteri tidak diperlukan lagi dalam hal:
-          isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak mungkin menjadi pihak dalam perjanjian; atau
-          tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun; atau
-          karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan agama.
j.        Putusan
  1. Apabila Pengadilan Agama berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan Agama memberikan putusannya yang berupa ijin untuk beristri lebih dari dari seorang.
  2. Terhadap putusan ini, baik isteri maupun suami dapat mengajukan banding atau Kasasi.
k.      Biaya perkara
  1. Biaya dalam perkara ini dibebankan kepada Pemohon (pasal 89 ayat (1) UU No. 7/1989).
l.        Pelaksanaan poligami
  1. Pegawai pencatat nikah dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum ada ijin dari Pengadilan agama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar