Minggu, 12 Februari 2012

SEJARAH PERADILAN AGAMA


  •  Pada jaman penjajahan Belanda dan Jepang.
  •  Pada jaman setelah kemerdekaan
  • Setelah UU No. 7/1989 lahir
Kedudukan Peradilan Agama
        Menurut UU No. 14/1970 jo UU No. 4/2004
        Menurut UU No. 7/1989
Wewenang Peradilan Agama
u Pasal 49 UU No. 7/1989
ü  Tentang perkawinan
ü  Tentang warisan
ü  Tentang wakaf
ü  Tentang hibah
ü  Tentang wasiat
Hukum Acara Peradilan Agama
u Mekanisme penyelesaian perkara di PA
u Pelaksanaan putusan PA
u Perbandingan penyelesaian perkara di PA dan PN khusus bagi masyarakat Islam
u Pilihan hukum orang Islam dalam menyelesaikan perkara setelah UU No. 7/1989

Sejarah Peradilan Agama
Masa Belanda:
l  Theori Receptie in Complexu (van den berg), “Hukum yang berlaku bagi orang Indonesia asli adalah UU agama mereka (goosdientige wetten)” vide staadblad 1855 No. 2
l  Theori Receptie (C. Snouck Hurgronje) “Hukum Islam dapat diterapkan selama hukum tersebut telah meresap pada hukum adat, atau hukum islam dapat dianggap suatu hukum jika tidak bertentangan dengan hukum adat.“ Vide Pasal 134 ayat 213 (indsche staatsregeling) yang menyatakan :
            “Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang islam akan diselesaikan oleh hakim agama islam apabila keadaan tersebut telah diterima oleh hukum adat mereka dan sejauh tidak ditentukan oleh ordonansi”

Indonesia Merdeka:
l  UU Darurat No. 1 tahun 1951 → Pemerintah tetap mempertahankan peradilan agama
l  PP No. 45 tahun 1957 → Dibentuk peradilan Agama diluar jawa dan kalimantan
            1. Stbl 1882 No. 152 jo Stbl 1937 No. 116 dan 610 : Peradilan Agama di Jawa dan Madura.
            2. Stbl 1937 No. 638 dan dan 639: Peradilan Agama di Kalimantan Selatan.
            3. PP No. 45/ 1957 : Peradilan agama diluar Jawa dan Kalimantan Selatan

KEDUDUKAN PA
Setelah lahir UU No. 14/ 1970 jo UU No. 4/ 2004 pasal 10 ayat 1 dinyatakan : Kekuasaan Kehakiman ditentukan oleh Pengadilan dan Lingkungan :
            a. Peradilan Umum
            b. Peradilan Agama
            c. Peradilan Militer
            d. Peradilan TUN
Jadi Kekuasaan Kehakiman = MA, Badan Peradilan dan MK (vide Pasal 10 UU No. 4/ 2004)
Menurut UU No. 7/1989
¤ Peradilan Agama = UU No. 7/ 1989
Eksistensi PA dalam UU No. 7/ 1989 Pasal 2:
“PA merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman  bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu”
n  Hukum acara Peradilan agama → UU No. 7/ 1989 Pasal 54:
“Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam UU ini”
Kewenangan PA
o  Anak dalam kandungan
            1. Sah/tidaknya kehamilan;
            2. Status anak dalam kandungan sebagai 
                          ahli waris;
            3. Bagian warisan anak dalam kandungan;
            4. Kewajiban orang tua terhadap anak    
                          dalam kandungan;
o  Kelahiran
            1. Penentuan sah/tidaknya anak;
            2. Penentuan asal-usul anak;
            3. Penentuan status anak/pengakuan anak;
o  Pemeliharaan anak
            1.   Perwalian terhadap anak;
            2.   Pencabutan kekuasaan orang tua;
            3.   Penunjukan/ Penggantian wali;
            4.   Pemecatan wali;
            5.   Kewajiban orang tua/ wali terhadap anak;
            6.   Pengangkatan anak; anak sipil, anak terlantar;
            7.   Sengketa hak pemeliharaan anak;
            8.   Kewajiban orang tua angkat terhadap anak angkat;
            9.   Pembatalan pengangkatan anak;
            10. Penetapan bahwa ibu turut memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak;
o  Perkawinan (Akad Nikah)
            1.   Sengketa pertunangan dan akibat hukumnya;
            2.   Dispensasi kawin dibawah umur 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita;
            3.   Ijin kawin dari orang tua bagi yang belum berumur 21 tahun;
            4.   Wali Adhol (Permenag. No. 2/1987);
            5.   Pencegahan kawin;
            6.   Penolakan kawin oleh PPN;
            7.   Ijin beristri lebih dari seorang;
            8.   Penetapan sahnya perkawinan;
            9.   Pembatalan perkawinan;
            10. Penolakan ijin perkawinan campuran oleh PPN;
            11. Penetapan sah/tidaknya rujuk;
o  Hak dan Kewajiban suami istri
            1. Mahar;
            2. Penghidupan istri (nafkah, kiswah, maskah, dan sebagainya);
            3. Gugatan atas kelalaian suami terhadap istri;
            4. Penetapan nusyuz;
            5. Perselisihan suami istri
            6. Gugatan atas kelalaian istri;
            7. Muth’ah;
            8. Nafkah iddah;
            9. Sengketa tempat kediaman bersama suami  istri;

o  Harta Benda dalam Perkawinan.
            1. Penentuan status harta benda dalam perkawinan;
            2. Perjanjian harta benda dalam perkawinan;
            3. Pembagian harta benda dalam perkawinan;
            4. Sengketa pemeliharaan harta benda dalam perkawinan;
            5. Sita marital atas harta perkawinan;
            6. Sengketa hibah;
            7. Sengketa wakaf;
            8. Harta bawaan suami istri;
o  Putusnya Perkawinan
            1. Penentuan putusnya perkawinan karena kematian;
            2. Perceraian atas kehendak suami (cerai talak);
            3. Perceraian atas kehendak istri
(cerai gugat yg di dlmnya mliputi masalah ttg li’an,khuluk, fasakh, &sebagainya);
            4. Putusnya perkawinan karena sebab-sebab lain;

o  Pemeliharaan Orang Tua
            1. Kewajiban anak terhadap orang tua (pasal  46 UUD);
            2. Kewajiban anak angkat terhadap orang tua angkat;
o  Kematian
            1. Penetapan kematian secara yuridis, misalnya karena mafqud (pasal 96 ayat (2) KHI);
            2. Penetapan Sah/tidaknya Wasiat;
o  Kewarisan
            1. Penentuan ahli waris;
            2. Penentuan mengenai harta peninggalan;
            3. Penentuan bagian masing-masing ahli waris;
            4. Pembagian harta peninggalan;
            5. Penentuan kewajiban ahli waris terhadap  pewaris;
            6. Pengangkatan wali bagi ahli waris yang tidak cakap bertindak;
            7. Baitul mal.
Sengketa/Konflik/Perselisihan
Timbulnya sengketa :
  1. Karena adanya perbedaan antara Das Sollen dan Das Sein ------- Sifat Normatif
  2. Karena adanya pebedaan antara apa yang diinginkan dengan apa yang terjadi-----------Sifat Individual/emosional
Penyelesaian Sengketa
o  Secara Musyawarah, apabila tidakl berhasil maka minta bantuan pihak ketiga yaitu badan perorangan atau lembaga sosial/bisnis yang ada dan jika ini tidak berhasil selanjutnya akan dibawa ke Pengadilan
o  Sengketa itu diselesaikan lewat musyawarah dan apabila tidak berhasil kemudian langsung di bawa ke pengadilan
o  Sengketa itu langsung dibawa ke pengadilan 
JAWAB MENJAWAB DALAM
HUKUM ACARA PERDATA DAN PRAKTEK PERADILAN
GAMBARAN UMUM
            Mekanisme atau proses pemeriksaan perkara perdata di sidang pengadilan dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagaimana diatur dalam hukum acara perdata, setelah hakim terlebih dahulu berusaha dan tidak berhasil mendamaikan para pihak yang bersengketa.






Penjelasan atas skema diatas adalah sebagai berikut :
  1. Pembacaan Surat Gugatan Penggugat (Pasal131 HIR/155 Rbg)
  2. Upaya Perdamaian
             
Kalau pada hari sidang yang telah ditetapkan kedua belah pihak hadir, maka hakim harus berusaha mendamaikan mereka (Pasal 130 HIR/154RBg). Pada saat inilah hakim dapat berperan secara aktif sebagaimana dikehendaki oleh HIR. Untuk keperluan perdamaian itu sidang lalu ditunda untuk memberi kesempatan mengadakan perdamaian. Pada hari sidang berikutnya apabila mereka berhasil mengadakan perdamaian, disampaikanlah kepada hakim di persidangan hasil perdamaiannya, yang lazimnya berupa surat perjanjian di bawah tangan yang yang ditulis diatas kertas yang bermaterai. Berdasarkan adanya perdamaian antara kedua belah pihak itu, maka hakim menjatuhkan putusannya (Acte van vergelijke), yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi perdamaiannya yang telah dibuat antara mereka. Adapun kekuatan putusan perdamaian ini sama dengan putusan biasa dan dapat dilaksanakan seperti putusan-putusan lainnya. Hanya dalam hal ini Banding tidak dimungkinkan. Usaha perdamaian ini terbuka sepanjang pemeriksaan di persidangan.
3. Apabila upaya damai tidak berhasil dilanjutkan dengan proses jawab-jinawab, sementara upaya damai masih bisa dilakukan oleh para pihak diluar persidangan.
Jawab-menjawab meliputi :
  1. Jawaban Pertama Tergugat atas gugatan penggugat,
    dalam bentuk :
    - Eksepsi
    - Konvensi
    - Rekonvensi
2. REPLIK artinya Jawaban/Tanggapan Penggugat atas jawaban pertama Tergugat,tanggapan terhadap:
    - Eksepsi
    - Konvensi
    - Rekonvensi
3. DUPLIK artinya Jawaban/tanggapan Tergugat atas Replik Penggugat.
4. Pembuktian para pihak
    Pembuktian ini dimulai dari Pihak Penggugat terlebih
    dahulu, yang meliputi :
    - Bukti Surat
    - Bukti Saksi
Dilanjutkan pembuktian dari Pihak Tergugat, meliputi :
- Bukti Surat
- Bukti Saksi
Catatan : Apabila dipandang perlu para pihak dapat
               mengajukan bukti lain berupa Pemeriksaan
               saksi ahli atau pemeriksaan setempat.
5. Kesimpulan
6. Musyawarah Majelis Hakim
7. Putusan
GUGATAN
¤ Dasar Hukum: Pasal 118 (1) HIR/ 142 (1) RBg
                                       Pasal 119 HIR/ 143 RBg
                                       Pasal 163 HIR/ 283 RBg
Pengertian       : suatu permohonan yang disampaikan kepada ketua pengadilan Negeri yang berwenang, mengenai suatu tuntutan hak terhadap pihak lainnya, dan harus diperiksa menurut tata cara tertentu oleh Pengadilan, serta kemudian diambil putusan terhadap gugatan tersebut.

SYARAT-SYARAT GUGATAN
» Syarat-syarat sebuah gugatan tidak diatur di dalam HIR/RBg, kedua peraturan diatas hanya
   mengatur tentang tata cara mengajukan gugatan.
» Akan tetapi didalam pasal 8 nomor 3 RV, dapat diketemukan sebuah aturan bahwa gugatan itu
   haruslah memenuhi 3(tiga) unsur yaitu :
1. Identitas dan kedudukan para pihak
    Identitas ini meliputi : nama, umur, pekerjaan, agama, alamat terakhir
    Kedudukan para pihak ini meliputi : Penggugat/Tergugat, Pemohon/Termohon,      Pelawan/Terlawan dll.
2. Posita/ Dasar gugatan/ Fundamentum Petendi/
    Middelen Van De Eis
    Artinya Peristiwa-peristiwa atau kejadian yang diuraikan oleh Penggugat dalam gugatannya
    dengan disertai dasar hukumnya.
Dalam praktek dalam posita ini akan dijumpai 2 (dua) hal,yaitu:
  1. Perihal fakta-fakta atau peristiwa hukum (rechtfeiten) yang menjadi dasar gugatan tersebut.
2. Perihal hukumnya yaitu uraian tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis daripada tuntutan. Tetapi harus diingat bahwa uraian yuridis ini bukanlah merupakan penyebutan peraturan-peraturan hukum yang dijadikan dasar tuntutan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar