- Pada jaman penjajahan Belanda dan Jepang.
- Pada jaman setelah kemerdekaan
- Setelah UU No. 7/1989 lahir
Kedudukan Peradilan Agama
–
Menurut UU No. 14/1970 jo UU No. 4/2004
–
Menurut UU No. 7/1989
Wewenang Peradilan Agama
u Pasal
49 UU No. 7/1989
ü Tentang
perkawinan
ü Tentang
warisan
ü Tentang
wakaf
ü Tentang
hibah
ü Tentang
wasiat
Hukum Acara Peradilan Agama
u Mekanisme
penyelesaian perkara di PA
u Pelaksanaan
putusan PA
u Perbandingan
penyelesaian perkara di PA dan PN khusus bagi masyarakat Islam
u Pilihan
hukum orang Islam dalam menyelesaikan perkara setelah UU No. 7/1989
Sejarah Peradilan Agama
Masa Belanda:
l Theori
Receptie in Complexu (van den berg), “Hukum yang berlaku
bagi orang Indonesia asli adalah UU agama mereka (goosdientige wetten)”
vide staadblad 1855 No. 2
l Theori
Receptie (C. Snouck Hurgronje) “Hukum Islam dapat
diterapkan selama hukum tersebut telah meresap pada hukum adat, atau hukum
islam dapat dianggap suatu hukum jika tidak bertentangan dengan hukum adat.“
Vide Pasal 134 ayat 213 (indsche staatsregeling) yang menyatakan :
“Dalam
hal terjadi perkara perdata antara sesama orang islam akan diselesaikan oleh
hakim agama islam apabila keadaan tersebut telah diterima oleh hukum adat
mereka dan sejauh tidak ditentukan oleh ordonansi”
Indonesia Merdeka:
l UU
Darurat No. 1 tahun 1951 → Pemerintah tetap mempertahankan peradilan agama
l PP
No. 45 tahun 1957 → Dibentuk peradilan Agama diluar jawa dan kalimantan
1.
Stbl 1882 No. 152 jo Stbl 1937 No. 116 dan 610 : Peradilan Agama di Jawa dan
Madura.
2.
Stbl 1937 No. 638 dan dan 639: Peradilan Agama di Kalimantan Selatan.
3.
PP No. 45/ 1957 : Peradilan agama diluar Jawa dan Kalimantan Selatan
KEDUDUKAN PA
Setelah lahir UU No. 14/ 1970 jo UU No. 4/ 2004
pasal 10 ayat 1 dinyatakan : Kekuasaan Kehakiman ditentukan oleh Pengadilan dan
Lingkungan :
a.
Peradilan Umum
b.
Peradilan Agama
c.
Peradilan Militer
d.
Peradilan TUN
Jadi
Kekuasaan Kehakiman = MA, Badan Peradilan dan MK (vide Pasal 10 UU No. 4/ 2004)
Menurut
UU No. 7/1989
¤ Peradilan Agama = UU No. 7/ 1989
Eksistensi PA dalam UU No. 7/ 1989 Pasal 2:
“PA merupakan salah
satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu”
n Hukum acara Peradilan agama → UU No. 7/ 1989 Pasal
54:
“Hukum
Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan agama adalah Hukum
Acara Perdata yang berlaku dalam lingkungan peradilan umum, kecuali
yang telah diatur secara khusus dalam UU ini”
Kewenangan PA
o Anak
dalam kandungan
1.
Sah/tidaknya kehamilan;
2.
Status anak dalam kandungan sebagai
ahli waris;
3.
Bagian warisan anak dalam kandungan;
4.
Kewajiban orang tua terhadap anak
dalam kandungan;
o Kelahiran
1.
Penentuan sah/tidaknya anak;
2.
Penentuan asal-usul anak;
3.
Penentuan status anak/pengakuan anak;
o Pemeliharaan
anak
1. Perwalian terhadap anak;
2. Pencabutan kekuasaan orang tua;
3. Penunjukan/ Penggantian wali;
4. Pemecatan wali;
5. Kewajiban orang tua/ wali terhadap anak;
6. Pengangkatan anak; anak sipil, anak terlantar;
7. Sengketa hak pemeliharaan anak;
8. Kewajiban orang tua angkat terhadap anak
angkat;
9. Pembatalan pengangkatan anak;
10.
Penetapan bahwa ibu turut memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak;
o Perkawinan
(Akad Nikah)
1. Sengketa pertunangan dan akibat hukumnya;
2. Dispensasi kawin dibawah umur 19 tahun bagi
pria dan 16 tahun bagi wanita;
3. Ijin kawin dari orang tua bagi yang belum berumur
21 tahun;
4. Wali Adhol (Permenag. No. 2/1987);
5. Pencegahan kawin;
6. Penolakan kawin oleh PPN;
7. Ijin beristri lebih dari seorang;
8. Penetapan sahnya perkawinan;
9. Pembatalan perkawinan;
10.
Penolakan ijin perkawinan campuran oleh PPN;
11.
Penetapan sah/tidaknya rujuk;
o Hak
dan Kewajiban suami istri
1.
Mahar;
2.
Penghidupan istri (nafkah, kiswah, maskah, dan sebagainya);
3.
Gugatan atas kelalaian suami terhadap istri;
4.
Penetapan nusyuz;
5.
Perselisihan suami istri
6.
Gugatan atas kelalaian istri;
7.
Muth’ah;
8.
Nafkah iddah;
9.
Sengketa tempat kediaman bersama suami istri;
o Harta
Benda dalam Perkawinan.
1.
Penentuan status harta benda dalam perkawinan;
2.
Perjanjian harta benda dalam perkawinan;
3.
Pembagian harta benda dalam perkawinan;
4.
Sengketa pemeliharaan harta benda dalam perkawinan;
5.
Sita marital atas harta perkawinan;
6.
Sengketa hibah;
7.
Sengketa wakaf;
8.
Harta bawaan suami istri;
o Putusnya Perkawinan
1.
Penentuan putusnya perkawinan karena kematian;
2.
Perceraian atas kehendak suami (cerai talak);
3.
Perceraian atas kehendak istri
(cerai gugat yg di dlmnya
mliputi masalah ttg li’an,khuluk, fasakh, &sebagainya);
4.
Putusnya perkawinan karena sebab-sebab lain;
o Pemeliharaan
Orang Tua
1.
Kewajiban anak terhadap orang tua (pasal 46 UUD);
2.
Kewajiban anak angkat terhadap orang tua angkat;
o Kematian
1.
Penetapan kematian secara yuridis, misalnya karena mafqud (pasal 96 ayat (2)
KHI);
2.
Penetapan Sah/tidaknya Wasiat;
o Kewarisan
1.
Penentuan ahli waris;
2.
Penentuan mengenai harta peninggalan;
3.
Penentuan bagian masing-masing ahli waris;
4.
Pembagian harta peninggalan;
5.
Penentuan kewajiban ahli waris terhadap pewaris;
6.
Pengangkatan wali bagi ahli waris yang tidak cakap bertindak;
7.
Baitul mal.
Sengketa/Konflik/Perselisihan
Timbulnya
sengketa :
- Karena adanya perbedaan antara Das Sollen dan Das Sein ------- Sifat Normatif
- Karena adanya pebedaan antara apa yang diinginkan dengan apa yang terjadi-----------Sifat Individual/emosional
Penyelesaian Sengketa
o Secara
Musyawarah, apabila tidakl berhasil maka minta bantuan pihak ketiga yaitu badan
perorangan atau lembaga sosial/bisnis yang ada dan jika ini tidak berhasil
selanjutnya akan dibawa ke Pengadilan
o Sengketa
itu diselesaikan lewat musyawarah dan apabila tidak berhasil kemudian langsung
di bawa ke pengadilan
o Sengketa
itu langsung dibawa ke pengadilan
JAWAB MENJAWAB DALAM
HUKUM ACARA PERDATA DAN PRAKTEK PERADILAN
HUKUM ACARA PERDATA DAN PRAKTEK PERADILAN
GAMBARAN UMUM
Mekanisme
atau proses pemeriksaan perkara perdata di sidang pengadilan dilakukan melalui
tahapan-tahapan sebagaimana diatur dalam hukum acara perdata, setelah hakim
terlebih dahulu berusaha dan tidak berhasil mendamaikan para pihak yang
bersengketa.
Penjelasan atas skema diatas adalah sebagai berikut
:
- Pembacaan Surat Gugatan Penggugat (Pasal131 HIR/155 Rbg)
- Upaya Perdamaian
Kalau pada hari sidang
yang telah ditetapkan kedua belah pihak hadir, maka hakim harus berusaha
mendamaikan mereka (Pasal 130 HIR/154RBg). Pada saat inilah hakim dapat
berperan secara aktif sebagaimana dikehendaki oleh HIR. Untuk keperluan
perdamaian itu sidang lalu ditunda untuk memberi kesempatan mengadakan
perdamaian. Pada hari sidang berikutnya apabila mereka berhasil mengadakan
perdamaian, disampaikanlah kepada hakim di persidangan hasil perdamaiannya,
yang lazimnya berupa surat perjanjian di bawah tangan yang yang ditulis diatas
kertas yang bermaterai. Berdasarkan adanya perdamaian antara kedua belah pihak
itu, maka hakim menjatuhkan putusannya (Acte van vergelijke), yang
isinya menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi perdamaiannya yang telah
dibuat antara mereka. Adapun kekuatan putusan perdamaian ini sama dengan
putusan biasa dan dapat dilaksanakan seperti putusan-putusan lainnya. Hanya
dalam hal ini Banding tidak dimungkinkan. Usaha perdamaian ini terbuka
sepanjang pemeriksaan di persidangan.
3.
Apabila upaya damai tidak berhasil dilanjutkan dengan proses jawab-jinawab,
sementara upaya damai masih bisa dilakukan oleh para pihak diluar persidangan.
Jawab-menjawab meliputi :
- Jawaban Pertama Tergugat atas gugatan penggugat,
dalam
bentuk :
- Eksepsi
- Konvensi
-
Rekonvensi
2. REPLIK artinya Jawaban/Tanggapan Penggugat atas
jawaban pertama Tergugat,tanggapan terhadap:
- Eksepsi
- Konvensi
-
Rekonvensi
3. DUPLIK artinya Jawaban/tanggapan Tergugat atas
Replik Penggugat.
4. Pembuktian para pihak
Pembuktian
ini dimulai dari Pihak Penggugat terlebih
dahulu,
yang meliputi :
- Bukti
Surat
- Bukti
Saksi
Dilanjutkan pembuktian dari Pihak Tergugat, meliputi
:
- Bukti Surat
- Bukti Saksi
Catatan : Apabila dipandang perlu para pihak dapat
mengajukan bukti lain berupa Pemeriksaan
saksi ahli atau pemeriksaan setempat.
5. Kesimpulan
6. Musyawarah Majelis Hakim
7. Putusan
GUGATAN
¤ Dasar Hukum: Pasal 118 (1) HIR/ 142 (1) RBg
Pasal 119 HIR/ 143 RBg
Pasal 163 HIR/ 283 RBg
Pengertian :
suatu permohonan yang disampaikan kepada ketua pengadilan Negeri yang
berwenang, mengenai suatu tuntutan hak terhadap pihak lainnya, dan harus
diperiksa menurut tata cara tertentu oleh Pengadilan, serta kemudian diambil
putusan terhadap gugatan tersebut.
SYARAT-SYARAT GUGATAN
» Syarat-syarat sebuah gugatan tidak diatur di dalam
HIR/RBg, kedua peraturan diatas hanya
mengatur tentang
tata cara mengajukan gugatan.
» Akan tetapi didalam pasal 8 nomor 3 RV, dapat diketemukan
sebuah aturan bahwa gugatan itu
haruslah
memenuhi 3(tiga) unsur yaitu :
1. Identitas dan kedudukan para pihak
‣
Identitas ini meliputi : nama, umur, pekerjaan, agama, alamat terakhir
‣ Kedudukan para pihak
ini meliputi : Penggugat/Tergugat, Pemohon/Termohon, Pelawan/Terlawan dll.
2. Posita/ Dasar gugatan/ Fundamentum Petendi/
Middelen Van De Eis
Artinya Peristiwa-peristiwa
atau kejadian yang diuraikan oleh Penggugat dalam gugatannya
dengan
disertai dasar hukumnya.
Dalam praktek dalam posita ini akan dijumpai 2 (dua)
hal,yaitu:
- Perihal fakta-fakta atau peristiwa hukum (rechtfeiten) yang menjadi dasar gugatan tersebut.
2.
Perihal hukumnya yaitu uraian tentang adanya hak atau hubungan hukum yang
menjadi dasar yuridis daripada tuntutan. Tetapi harus diingat bahwa uraian
yuridis ini bukanlah merupakan penyebutan peraturan-peraturan hukum yang
dijadikan dasar tuntutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar