Harta kekayaan dalam perkawinan
1. Dalam suatu perkawinan terdapat 3 (tiga)
macam harta kekayaan, yaitu:
à Harta pribadi suami;
à Harta pribadi isteri; dan
à Harta bersama suami
isteri.
2. Harta pribadi suami ialah:
à Harta bawaan suami, yaitu
yang dibawanya sejak sebelum perkawinan, dan
à Harta yang diperolehnya
sebagai hadiah atau warisan.
3. Harta Pribadi isteri ialah:
a. Harta
bawaan isteri, yaitu yang dibawanya sejak sebelum perkawinan, dan
b. Harta
yang diperolehnya sebagai hadiah atau warisan.
4. Harta
pribadi masing-masing suami dan isteri tersebut berada di bawah kekuasaan
masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain (pasal 35 UUP, pasal
87 (1) KHI).
5. Pada
dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena
perkawinan. Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya,
demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya
(pasal 86 KHI).
6. Suami
dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta
masing-masing, misalnya untuk memberikan
hibah, hadiah, shodaqoh atau lainnya (pasal 87 (2) c KHI).
7. Harta
pribadi yang ditukar atau dijual untuk membeli atau membangun sesuatu atau
untuk membuat sesuatu yang lain tetap menjadi harta pribadi, kecuali yang
merupakan hasil (keuntungan) dari harta pribadi tersebut yang dapat menjadi
harta bersama.
Harta bersama suami isteri
8. Harta
benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama suami isteri
(pasal 36 (1) UUP).
9. Harta
bersama suami isteri atau syirkah ialah harta yang diperoleh baik
sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan, tanpa
mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun (pasal 1 huruf F KHI).
10. Harta
bersama suami isteri bersumber dari:
a.
Harta yang dibeli selama perkawinan,
b.
Harta yang dibeli dan dibangun sesudah
perceraian yang dibiayai dari harta bersama,
c.
Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama
perkawinan, kecuali yang berupa harta pribadi suami atau isteri (lihat point 1
dan 2 di atas).
d.
Penghasilan yang diperoleh dari harta bersama
dan harta bawaan/ pribadi suami isteri,
e.
Segala penghasilan pribadi suami,
f.
Segala penghasilan pribadi isteri, dan
g.
Segala penghasilan harta bersama suami isteri.
Semua harta
tersebut merupakan harta bersama suami isteri, kecuali dibuktikan sebaliknya.
Taspen dan asuransinya termasuk harta bersama.
11. Harta
bersama tersebut dapat berupa:
a.
benda berujud atau tidak berujud;
b.
benda berujud meliputi:
☼ benda bergerak,
☼ benda tidak bergerak, dan
☼ surat-surat berharga.
c.
benda yang tidak berujud dapat berupa hak maupun kewajiban (pasal 91
KHI).
12. Terhadap
harta bersama tersebut, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan
kedua belah pihak (pasal 36 (1) UUP).
13. Harta
bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas
persetujuan pihak lainnya (pasal 91 KHI).
14. Suami atau
isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau
memindahkan harta bersama (pasal 92 KHI).
15. Suami
bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun hartanya sendiri
(pasal 98 KHI).
16. Isteri
turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta yang ada padanya
(pasal 90 KHI).
17. Pembebanan
hutang atas harta perkawinan diatur sebagai berikut:
a.
Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau
isteri dibebankan atas harta masing-masing.
b.
Pertanggungjawaban terhadap hutang untuk
kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama.
c.
Apabila harta bersama tidak mencukupi,
dibebankan kepada harta suami.
d.
Dan apabila harta suami tidak ada atau tidak
mencukupi maka dibebankan kepada harta isteri.
18. apabila
perkawinan putus, harta bersama dibagi menurut hukum islam (pasal 37 UUP).
19. Apabila
perkawinan putus, baik karena perceraian ataupun karena kematian, maka
masing-masing bekas suami/ isteri mendapat separoh dari harta bersama (pasal 96
dan 97 KHI).
20. Apabila
isteri nusyuz, maka hal tersebut tidak menghilangkan hak isteri terhadap harta
bersama.
Sengketa Harta Perkawinan
21. Apabila
terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka
penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama (pasal 98 KHI).
22. Perselisihan
mengenai harta bersama dapat berupa:
¤ Penentuan harta bersama
suami isteri;
¤ Pemeliharaan dan
pemanfaatan harta bersama suami isteri;
¤ Penentuan bagian
masing-masing suami isteri; dan
¤ Pembagian harta bersama
suami isteri.
23. Sengketa harta perkawinan dapat timbul karena:
a. putusnya perkawinan,
baik karena kematian maupun karena perceraian, atau
b. tanpa putusnya
perkawinan.
24. Penyelesaian sengketa harta perkawinan dapat diajukan:
a. bersama-sama dengan perkara
perceraian,
b. setelah terjadinya
perceraian, atau
c. setelah terjadinya
kematian salah satu pihak dari suami isteri atau kedua suami isteri.
25. Dalam hal salah satu dari suami atau isteri
mengajukan perkara perceraian, maka dapat diajukan sekaligus mengenai
penyelenggaraan harta bersama suami isteri, baik dalam konpensi dari penggugat/
pemohon ataupun dalam bentuk rekonpensi dari tergugat/ termohon (pasal 66 (5)
dan pasal 86 (1) UU No. 7/ 1989).
26. Hakim berwenang untuk mempertimbangkan apakah
penggabungan penyelesian sengketa harta bersma tersebut dapat diteria dan
diselesaikan sekaligus bersama-sama dengan perceraian atau tidak diterima
sehingga harus diselesaikan setelah perceraian terjadi sebagai perkara
tersendiri.
27. Dalam hal tuntutan mengenai harta bersama
digabungkan dengan perceraian, maka ia tunduk pada putusan sengketa perceraian,
sehingga jika perkara harta bersama harus tidak diterima dan jika perkara
perceraian ditolak (tidak diterima), maka perkara harta bersama harus tidak
diterima dan jika perkara perceraian dikabulkan maka pembagian harta bersama
dapat sekaligus diselesaikan.
28. Penggabungan perkara penyelesaian harta
bersama dengan perceraian ini merupakan ketentuan khusus yang berlaku pada
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Hal ini dimaksudkan untuk
mewujudkan suatu peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
29. Tuntutan pembagian harta bersama dapat pula
diajukan setelah perceraian terjadi, sebagai akibat perceraian.
30. Demikian pula pembagian harta bersama dapat
pula diajukan setelah perkawinan putus karena kematian dan dapat pula dibarengi
dengan pembagian harta waris.
31. Dalam hal
terjadi sengketa kepemilikan maka:
a. Sepanjang hal itu mengenai penentuan apakah
harta sengketa merupakan harta bersama atau harta pribadi
suami/ isteri, maka hal ini harus diselesaikan oleh Pengadilan Agama, tetapi
b. Apabila hal itu menyangkut milik pihak
ketiga yang diwujudkan adanya intervensi, maka hal ini menjadi wewenang Peradilan Umum
32. bagian N angka 4 tentang Sengketa Hak Milik
dan keperdataan lain)
33. Dalam sengketa tentang harta perkawinan, maka
para pihak dapat mengajukan permohonan sita jaminan.
34. Apabila
tergugat tidak mau melaksanakan putusan dengan
sukarela maka pihak yang berkepentingan (penggugat) dapat mengajukan permohonan
eksekusi.
Harta bersama dalam
perkawinan poligami
34. Dalam hal seorang suami
beristeri lebih dari seorang maka berlaku ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a.
Suami wajib memberi jaminan hidup yang sama
kepada semua isteri dan anaknya;
b.
Isteri
yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada
sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi;-
c.
Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing.
35.Ketentuan tersebut di atas berlaku apabila Pengadilan Agama yang
memberikan izin untuk perkawinan poligami tidak menentukan lain (pasal 65 UU
No. 1/ 1974).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar