Minggu, 12 Februari 2012

Hukum acara Peradilan Agama

Harta kekayaan dalam perkawinan
1.    Dalam suatu perkawinan terdapat 3 (tiga) macam harta kekayaan, yaitu:
                Ã Harta pribadi suami;
                Ã Harta pribadi isteri; dan
                Ã Harta bersama suami isteri.
2.   Harta pribadi suami ialah:
                Ã Harta bawaan suami, yaitu yang   dibawanya sejak sebelum perkawinan, dan
                Ã Harta yang diperolehnya sebagai hadiah atau warisan.
3. Harta Pribadi isteri ialah:
a.       Harta bawaan isteri, yaitu yang dibawanya sejak sebelum perkawinan, dan
b.      Harta yang diperolehnya sebagai hadiah atau warisan.
4.    Harta pribadi masing-masing suami dan isteri tersebut berada di bawah kekuasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain (pasal 35 UUP, pasal 87 (1) KHI).
5.    Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan. Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya (pasal 86 KHI).
6.    Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing,  misalnya untuk memberikan hibah, hadiah, shodaqoh atau lainnya (pasal 87 (2) c KHI).
7.    Harta pribadi yang ditukar atau dijual untuk membeli atau membangun sesuatu atau untuk membuat sesuatu yang lain tetap menjadi harta pribadi, kecuali yang merupakan hasil (keuntungan) dari harta pribadi tersebut yang dapat menjadi harta bersama.

Harta bersama suami isteri
8.    Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama suami isteri (pasal 36 (1) UUP).
9.    Harta bersama suami isteri atau syirkah ialah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun (pasal 1 huruf F KHI).
10. Harta bersama suami isteri bersumber dari:
a.    Harta yang dibeli selama perkawinan,
b.    Harta yang dibeli dan dibangun sesudah perceraian yang dibiayai dari harta bersama,
c.     Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan, kecuali yang berupa harta pribadi suami atau isteri (lihat point 1 dan 2 di atas).
d.    Penghasilan yang diperoleh dari harta bersama dan harta bawaan/ pribadi suami isteri,
e.    Segala penghasilan pribadi suami,
f.     Segala penghasilan pribadi isteri, dan
g.    Segala penghasilan harta bersama suami isteri.
Semua harta tersebut merupakan harta bersama suami isteri, kecuali dibuktikan sebaliknya. Taspen dan asuransinya termasuk harta bersama.
11. Harta bersama tersebut dapat berupa:
a.  benda berujud atau tidak berujud;
b.  benda berujud meliputi:
      benda bergerak,
      benda tidak bergerak, dan
      surat-surat berharga.
c.  benda yang tidak berujud dapat berupa hak maupun kewajiban (pasal 91 KHI).
12. Terhadap harta bersama tersebut, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak (pasal 36 (1) UUP).
13. Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya (pasal 91 KHI).
14. Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama (pasal 92 KHI).
15. Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun hartanya sendiri (pasal 98 KHI).
16. Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta yang ada padanya (pasal 90 KHI).
17. Pembebanan hutang atas harta perkawinan diatur sebagai berikut:

a.    Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan atas harta masing-masing.
b.    Pertanggungjawaban terhadap hutang untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama.
c.     Apabila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami.
d.    Dan apabila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi maka dibebankan kepada harta isteri.
18. apabila perkawinan putus, harta bersama dibagi menurut hukum islam (pasal 37 UUP).
19. Apabila perkawinan putus, baik karena perceraian ataupun karena kematian, maka masing-masing bekas suami/ isteri mendapat separoh dari harta bersama (pasal 96 dan 97 KHI).
20. Apabila isteri nusyuz, maka hal tersebut tidak menghilangkan hak isteri terhadap harta bersama.
Sengketa Harta Perkawinan
21. Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama (pasal 98 KHI).
22. Perselisihan mengenai harta bersama dapat berupa:
      ¤ Penentuan harta bersama suami isteri;
      ¤ Pemeliharaan dan pemanfaatan harta bersama suami isteri;
      ¤ Penentuan bagian masing-masing suami isteri; dan
      ¤ Pembagian harta bersama suami isteri.
23. Sengketa harta perkawinan dapat timbul karena:
      a. putusnya perkawinan, baik karena kematian maupun karena perceraian, atau
      b. tanpa putusnya perkawinan.
24. Penyelesaian sengketa harta perkawinan dapat diajukan:
      a. bersama-sama dengan perkara perceraian,
      b. setelah terjadinya perceraian, atau
      c. setelah terjadinya kematian salah satu pihak dari suami isteri atau kedua suami isteri.
25. Dalam hal salah satu dari suami atau isteri mengajukan perkara perceraian, maka dapat diajukan sekaligus mengenai penyelenggaraan harta bersama suami isteri, baik dalam konpensi dari penggugat/ pemohon ataupun dalam bentuk rekonpensi dari tergugat/ termohon (pasal 66 (5) dan pasal 86 (1) UU No. 7/ 1989).
26. Hakim berwenang untuk mempertimbangkan apakah penggabungan penyelesian sengketa harta bersma tersebut dapat diteria dan diselesaikan sekaligus bersama-sama dengan perceraian atau tidak diterima sehingga harus diselesaikan setelah perceraian terjadi sebagai perkara tersendiri.
27. Dalam hal tuntutan mengenai harta bersama digabungkan dengan perceraian, maka ia tunduk pada putusan sengketa perceraian, sehingga jika perkara harta bersama harus tidak diterima dan jika perkara perceraian ditolak (tidak diterima), maka perkara harta bersama harus tidak diterima dan jika perkara perceraian dikabulkan maka pembagian harta bersama dapat sekaligus diselesaikan.
28. Penggabungan perkara penyelesaian harta bersama dengan perceraian ini merupakan ketentuan khusus yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan suatu peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
29. Tuntutan pembagian harta bersama dapat pula diajukan setelah perceraian terjadi, sebagai akibat perceraian.
30. Demikian pula pembagian harta bersama dapat pula diajukan setelah perkawinan putus karena kematian dan dapat pula dibarengi dengan pembagian harta waris.
31. Dalam hal terjadi sengketa kepemilikan maka:
 a. Sepanjang hal itu mengenai penentuan apakah harta  sengketa  merupakan harta bersama atau harta pribadi suami/ isteri, maka hal ini harus diselesaikan  oleh Pengadilan Agama, tetapi
 b. Apabila hal itu menyangkut milik pihak ketiga yang diwujudkan adanya intervensi, maka hal ini menjadi  wewenang Peradilan Umum
32.  bagian N angka 4 tentang Sengketa Hak Milik dan  keperdataan lain)
33.  Dalam sengketa tentang harta perkawinan, maka para pihak dapat mengajukan permohonan sita jaminan.
34. Apabila tergugat tidak mau melaksanakan putusan  dengan sukarela maka pihak yang berkepentingan (penggugat) dapat mengajukan permohonan eksekusi.

Harta bersama dalam perkawinan poligami
34.   Dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang maka berlaku ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a.    Suami wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan anaknya;
b.     Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi;-
c.     Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta    bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing.
35.Ketentuan tersebut di atas berlaku apabila Pengadilan Agama yang memberikan izin untuk perkawinan poligami tidak menentukan lain (pasal 65 UU No. 1/ 1974).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar